Langsung ke konten utama

Who is The First Author ?

Kisah ini terjadi beberapa bulan yang lalu tepatnya 21 Juli 2011. Begitu banyak cerita yang terjadi pada hari itu, mulai dari rasa mual saat membaca Koran di bus *kaya orang hamil aja ya :p, mungkin karena belum sarapan dan sebenernya ini sering aku alami, sampai dengan gossip tentang supervisorku yang menangis.

Manuel, temen satu research group-ku dari Thailand yang telah menjadi temen curhatku selama ini bercerita bahwa dia diminta oleh supervisor untuk mempresentasikan projek risetnya di Medical School, Newcastle University sekitar bulan Oktober nanti namun, abstrak harus disubmit tanggal 28 Juli ini. Akan tetapi dia berusaha menolak permintaan itu dengan berdalih bahwa tidak ingin mempresentasikan hasil risetnya sebelum paper pertama-nya dipublikasikan di jurnal. Alasannya, dia merasa khawatir kalau-kalau projek riset tersebut dijiplak oleh researcher lain kemudian mereka lebih dulu mempublikasikannya sehingga habislah dia dan harus mengulang dari awal projek risetnya. Sebenarnya, menurut pribadi saya, dalih ini ada benarnya. Namun, kita juga perlu memikirkan, bagaimana kita bisa mengetahui kelemahan riset kita seandainya kita tidak pernah mempresentasikannya di depan khalayak. Conference yang akan dihadiri oleh dia akan dihadiri oleh para pakar di bidangnya sehingga benar-benar tepat untuk mendapatkan masukan maupun kritikan yang sifatnya membangun. Dengan banyak menghadiri seminar, maka berbagai masukan akan kita terima sehingga kita akan mengetahui gap-gap yang harus diselesaikan serta munculnya ide-ide baru yang membuat riset kita semakin menuju titik terang. Dan, kekhawatiran yang dirasakan olehnya bisa dihindari dengan tidak terlalu detail dalam menyampaikan metode yang diaplikasikan serta data-data yang diperoleh dalam riset tersebut. Dengan kata lain, bagaimana pintar-pintarnya kita dalam mengemasnya namun khalayak juga memahami apa yang kita sampaikan.

Cerita selanjutnya adalah tentang publikasi paper dia. Saya tahu persis siapa yang melakukan riset dan siapa yang menganalisa serta menulis paper itu. Pada awalnya, hasil riset itu diseminarkan oleh supervisor, dan nama Manuel tertulis sebagai first author karena selama ini dia yang mensintesis serta menganalisa sampel dengan berbagai instrumen. Namun, ketika penulisan paper terselesaikan, dia dianggap sebagai third author karena yang kedua berasal dari Jerman sedangkan first author-nya adalah supervisor itu sendiri. Tidak habis pikir, begitu mudahnya sang supervisor merubah posisi author. Dalam benak saya terbersit sebuah pertanyaan “apakah benar apa yang supervisor lakukan terhadap dia?? Apakah ini cukup fair, karena selama ini dia yang mensintesis sampel dan juga melakukan analisa dengan berbagai instrumen?? Berapa lama dia menghabiskan waktu, berapa lama dia tidak sempat memasak untuk dirinya sendiri dan berapa lama dia tidak tidur serta menahan lelah hanya untuk menyelesaikan experiment tersebut sehingga diperoleh data-data yang excellent??”.

Dari kasus yang dialami Manuel, saya coba untuk men-treasure beberapa literature dan akhirnya saya dapatkan sebuah buku karya Robert A. Day and Barbara Gastel yang berjudul How to Write and Publish a Scientific Paper. Dalam buku itu disebutkan tentang kriteria siapa sajakah author itu dan siapa kah first author itu. Menurut buku tersebut, author adalah siapa saja yang memiliki kontribusi besar terhadap hasil riset yang dipublikasikan. Sedangkan first author adalah orang yang memiliki kontribusi terbesar dalam penelitian itu. R.D. Ganatra (1993) dalam publikasinya yang berjudul ethics of authorship of scientific papers di Indian Journal of Medical Ethics menyebutkan bahwa tidak ada aturan atau criteria dalam penempatan author. Yang terpenting adalah seluruh author memiliki kontribusi serta bertanggung jawab penuh terhadap projek riset yang dilakukan. Berdasarkan aturan Vancouver (Vancouver Guidelines), author adalah orang-orang yang memiliki kontribusi terhadap konsep dan design serta penginterpretasian data, sumbangan intelektual pada peng-draft-an artikel/paper serta memberikan persetujuan dalam final approval dari paper yang akan dipublikasi. Tentu saja, aturan ini memberikan kelemahan-kelemahan dimana tidak akan saya bahas lebih lanjut. Sayang sekali, aturan terhadap siapa first author tidak dibahas di dalam aturan tersebut. Perubahan posisi tersebut sungguh tidak menguntungkan apabila ditinjau dari penilaian angka kredit point yang biasanya digunakan untuk kenaikan pangkat bagi para pegawai. Penulis pertama dalam jurnal internasional biasanya mendapatkan kredit point sebesar 60 % dari 40 point sedangkan author selanjutnya mendapatkan 40 %-nya dan dibagi rata dari jumlah author yang ada. Sungguh rugi bukan??

Kembali ke kasus tadi, jika dicerna secara seksama cerita yang dia lontarkan, pasti ada yang tidak beres. Selanjutnya, kucoba untuk mengorek informasi darinya. Ternyata, memang, mensintesis sample, menganalisa sample dengan berbagai alat dilakukan olehnya. Namun untuk penganalisaan data, hanya beberapa data saja yang bisa dia analisa. Selain itu, ada beberapa data dimana supervisor yang melakukan penganalisaan, misalnya beam time di France. Pada tahap penulisan paper, dia hanya menulis bagian suplemen informasi sedangkan untuk full papernya supervisor yang menulis.

Saya tidak mampu untuk mengemukakan pendapat yang lebih ekstrim mengenai apakah keputusan yang diberikan supervisor dimana dia akan menjadi third author itu cukup fair atau tidak baginya. Hanya saja, setelah dipikir-pikir, dimana sudah hampir 2 tahun lamanya saya dan dirinya jatuh bangun dalam dunia perisetan dalam satu group, sepertinya kurang begitu fair. Bukankah selama ini dia yang melakukan banyak riset? Tentang penganalisaan serta penulisan paper, seandainya saja dia diberikan kesempatan beberapa bulan untuk menganalisa serta menulis paper tersebut, saya rasa dia mampu melakukannya. Kayaknya superviso terlalu underestimate dengan kemampuannya. But any way, “supervisor is everything. Instead of fail in the middle of our study before getting a doctorate, I’m going to do what she wants us to do. I just want my PhD”. Begitulah teman saya bilang di akhir ceritanya :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Khasiat Mengkudu Penangkal Covid-19

Mengkudu ( M. citrifolia ) merupakan tanaman yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Mengkudu sendiri, sering digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Indonesia. Djauhariya and Rahardjo (2018) mengungkapkan bahwa dalam pengobatan tradisional, mengkudu digunakan untuk obat batuk, radang amandel, sariawan, tekanan darah tinggi, beri-beri, melancarkan kencing, radang ginjal, radang empedu, radang usus, sembelit, limpa, lever, kencing manis, cacingan, cacar air, sakit pinggang, sakit perut, masuk angin, dan kegemukan (Wijayakusuma, Dalimartha et al. 1992) . Hasil penelitian akhir-akhir ini mengungkapkan bahwa mengkudu dapat digunakan sebagai obat tumor dan kanker. Adanya aktivitas anti tumor dengan model LLC (Lewis lung carcinoma) buah mengkudu, disebabkan oleh adanya aktivitas sistem imun hospes (Hirazumi and Furusawa 1999) . Dilaporkan pula oleh Ediati dkk. (2004), bahwa jus mengkudu (kadar 0,625%) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit, tetapi tidak mening

Procrastination

Sudah beberapa hari ini diriku merasa malas untuk ke kampus. Walaupun demikian, setiap pukul 8.30 diriku sudah ready di bus stop menunggu STAGECOACH dengan no. 40 dan 39 jurusan kampus tercinta, Newcastle University. Dalam hati, ketika niatan untuk tidak ngampus datang, si setan putih membujuk “terus ngapain kamu di rumah seharian?? Mau tiduran?? Paling-paling juga ngga betah dan pingin ngabur juga”. Ternyata memang benar bisikan itu. Entah mengapa, hati rasanya tidak enak seandainya hanya stay di rumah walaupun bisa saja diriku mengerjakan sesuatu terkait dengan studi, misalnya, analisis data. Tapi, berdasarkan pengalaman, semua itu bullshit . Pernah suatu ketika ku bawa seabrek kerjaan kampus ke rumah. Namun ternyata, sampai di rumah justru mengerjakan yang lain, facebook-an, chating, nonton youtube, nonton TV atau ngobrol sama housmate. Dan usut punya usut, kondisi seperti ini tidak hanya aku alami. Hampir sebagian besar PhD student mengalaminya. Oleh karena itu, lebih baik nged

Sabun Cuci Piring Charcoal (Arang)

Produk pencuci piring  yang berfungsi untuk membersihkan peralatan  makan dan peralatan  dapur  terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan kenampakan fisik yaitu (1) berbentuk bubuk atau serbuk, (2) bentuk pasta, dan (3) bentuk cairan. Produk dalam bentuk bubuk agak kurang dikenal, produk kedua berbentuk pasta biasa dikenal dengan sabun colek. Sementara itu, produk ketiga sering banyak dipakai. Adanya bentuk pencuci piring berupa cairan menjadikan lebih praktis untuk digunakan menjadikan pencuci piring berbentuk cairan mempunyai nilai lebih dibanding produk pencuci piring lain [1]. Beberapa kendala ibu-ibu rumah tangga pada saat membersihkan peralatan makan maupun peralatan dapur adalah timbulnya bau amis membandel yang menempel di peralatan meskipun sudah dicuci. Selain itu juga sisa lemak membandel yang sulit untuk dibersihkan. Hal lain yang juga membuat ibu-ibu malas untuk mencuci peralatan dapur dan makan adalah bahwa sabun pencuci yang digunakan dapat merusak kulit misalnya tangan